Setelah Bitcoin mencapai harga tertinggi sepanjang masa baru (ATH) di kisaran $69.170 (Rp1,08 miliar) pada Selasa 5 Maret, harga bitcoin (BTC) mengalami penurunan tajam hingga lebih dari 11% pada Rabu 6 Maret. Ini merupakan koreksi terbesar yang dialami aset kripto paling populer ini dalam 27 bulan terakhir setelah kenaikan mencengangkan.
Meski begitu, bitcoin masih mampu bertengger di atas level $60.000 (Rp940 juta), yang menunjukkan bahwa minat pasar terhadap aset kripto ini masih tinggi. Beberapa analis bahkan memprediksi bahwa bitcoin akan terus menguat dalam jangka panjang, didorong oleh faktor-faktor seperti inflasi, suku bunga, dan ETF bitcoin spot.
Salah satu faktor yang mendorong kenaikan harga bitcoin adalah persetujuan ETF bitcoin spot oleh Securities and Exchange Commission (SEC) AS pada 19 November lalu. ETF bitcoin spot adalah produk investasi yang melacak harga bitcoin secara langsung, tanpa menggunakan derivatif atau kontrak berjangka. Ini berbeda dengan ETF bitcoin berjangka yang sudah disetujui sebelumnya, yang melacak harga kontrak berjangka bitcoin.
ETF bitcoin spot dianggap sebagai produk yang lebih sederhana dan transparan, serta memberikan akses yang lebih mudah bagi investor ritel dan institusional untuk berinvestasi di bitcoin. Selain itu, ETF bitcoin spot juga diharapkan dapat meningkatkan likuiditas dan efisiensi pasar bitcoin, serta mengurangi risiko manipulasi harga.
“Jika ETF yang tidak terkait dengan kripto sebelumnya dapat mengajarkan sesuatu kepada kita, itu adalah bahwa pertumbuhan nyata setelah persetujuan ETF bisa menjadi proses multi-tahun,” kata Sergey Nazarov, pendiri Chainlink, sebuah platform jaringan oracle terdesentralisasi, kepada Blockworks. “Setelah menunggu hampir satu dekade untuk ETF ini, saya akan terkejut jika kelompok pemegang inti ini memilih untuk melepaskan koin mereka tepat ketika Wall Street akhirnya memutuskan untuk melegitimasi ruang ini.”
Selain bitcoin, aset kripto lainnya juga mengalami kenaikan dan penurunan yang signifikan dalam beberapa hari terakhir. Ether (ETH), aset kripto terbesar kedua setelah bitcoin, sempat menyentuh level tertinggi intraday sekitar $3.816 (Rp59,8 juta) pada Selasa, sekitar 22% di bawah rekor tertingginya yang dicapai pada November 2021. Namun, ether kemudian terkoreksi hingga 13% dan diperdagangkan sekitar $3.400 (Rp53,2 juta).
Penyebab Harga Bitcoin Naik
Zach Pandl, kepala riset di Grayscale, sebuah perusahaan manajemen aset kripto terbesar di dunia, mengatakan bahwa posisi trader aktif di bitcoin saat ini tampak cukup panjang, yang berarti mereka berharap harga bitcoin akan terus naik. Sementara itu, penilaian untuk ether dan sebagian besar token lainnya masih di bawah rekor tertinggi dari siklus kripto sebelumnya, yang berarti mereka masih memiliki ruang untuk tumbuh.
“Kami melihat beberapa faktor yang mendukung kenaikan harga bitcoin dalam jangka panjang, seperti siklus halving yang akan datang pada tahun 2024, yang akan mengurangi jumlah bitcoin baru yang diciptakan setiap 10 menit, dan tingkat suku bunga yang tinggi di AS, yang akan meningkatkan daya tarik bitcoin sebagai lindung nilai terhadap inflasi,” kata Pandl kepada CNBC.
Hal senada juga diungkapkan oleh Noelle Acheson, penulis buletin Crypto is Macro Now yang membahas dampak makroekonomi dari perkembangan kripto. Menurutnya, bitcoin semakin banyak digunakan sebagai lindung nilai terhadap inflasi, terutama di tengah ketidakpastian ekonomi global akibat pandemi Covid-19.
“Jelas sekali bahwa kenaikan harga [bitcoin] didorong oleh uang baru yang masuk ke pasar, dibantu oleh akses baru dan nyaman,” kata Acheson. “Tapi itu hanya sebagian dari cerita. Bitcoin juga semakin diterima sebagai aset alternatif yang dapat memberikan diversifikasi portofolio dan perlindungan terhadap risiko geopolitik.”
Salah satu bukti penerimaan bitcoin sebagai aset alternatif adalah peluncuran ETF bitcoin spot oleh perusahaan-perusahaan ternama seperti VanEck, Valkyrie, dan ProShares. ETF bitcoin spot ini memberikan akses yang mudah bagi investor untuk berpartisipasi di pasar bitcoin tanpa harus memiliki atau menyimpan bitcoin secara langsung.
“Kita melihat persis apa yang terjadi ketika pasar memiliki akses yang aman, aman, dan sesuai peraturan ke kelas aset ini — dan lembaga-lembaga baru saja memulainya,” kata Nathan McCauley, CEO dan co-founder Anchorage Digital, sebuah platform infrastruktur keuangan kripto, dilansir Forbes.
Meski demikian, pasar kripto tetap memiliki risiko dan volatilitas yang tinggi, sehingga investor harus berhati-hati dan melakukan riset sebelum berinvestasi. Selain itu, investor juga harus memperhatikan peraturan dan kebijakan pemerintah terkait kripto di negara masing-masing, karena hal ini dapat mempengaruhi perkembangan dan adopsi kripto di masa depan.